Di dalam soal-soal tes kemampuan bahasa Jepang menggunakan ragam lisan yang biasa digunakan oleh orang Jepang sehari-hari, hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan berbicara mahasiswa. Dengan demikian untuk menunjang kemampuan berbicara, maka kemampuan menyimak bahasa Jepang sehari-hari dalam mata kuliah chokai perlu lebih ditingkatkan.Pembelajaran listening itu dapat kita katakan sebagai input, sehingga kita dapat mengakuisisi secara alami walaupun tidak tinggal langsung di negara bahasa sasaran. Sedangkan setelah kita mengakuisisi ataupun memahami apa yang kita dengar, maka outputnya adalah 'speaking' atau dalam bahasa Jepang disebut dengan
kaiwa.
Mulai semester kemarin, Universitas Negeri Semarang tempat saya bekerja mulai memfokuskan kurikulumnya pada kemampuan bahasa Jepang dengan menargetkan
Noryokushiken. Sehingga, dalam imbasnya pembelajaran chokai ditargetkan agar anak-anak bisa atau lulus
noryokushiken. Sebetulnya, pada semester-semester sebelumnya, chokai menggunakan buku yang tidak menekankan pada percakapan sehari-hari seperti halnya soal-soal yang ada dalam
noryokushiken.Alhasil, ketika diperkenalkan dengan soal-soal dengan jenis ini, banyak anak yang mengeluh terlalu sukar.
Sebelum memulai perkuliahan dengan target
Noryokushiken tersebut, saya coba buat silabus panduan per semester pembelajaran chokai sebagai berikut.
1. Simulasi
Noryokushiken N3 sebanyak 4 kali (include UAS)
2. Pembahasan strategi dan soal-soal
noryokushiken.
3. Teknik pengajaran, selain penjelasan atarashii goi, bunpou, juga teknik shadowing serta diskusi.
4. Saya juga coba membahasa Dorama-dorama setelah simulasi, agar mahasiswa dapat lebih memahami situasi percakapan sehari-hari bahasa Jepang.
Dan setelah akhir semester ini, untuk sedikit bahan laporan dan evaluasi saya coba buat analisanya.
1. Rata-rata nilai anak dari dua test terakhir adalah nilai yang diperoleh dibawah 60 masih banyak. Masih tinggi diatas 60-70%.. Sedangkan target lulus N3 itu adalah 60 %
2. Masih banyaknya anak yang kurang dapat menyimpulkan suatu percakapan bahasa Jepang, dan terlalu terpaku pada vocabulary yang tidak mereka pahami, sehingga menghambat analisa mahasiswa. Kurangnya konsentrasi anak dalam menyimak percakapan-percakapan dalam waktu yang ditentukan dan marathon pun sepertinya menjadi salah satu kendala.
Kedepannya, pembelajaran chokai dengan mengacu pada
soal-soal noryokushiken memang layak untuk dipertahankan, walaupun hasil dari anak-anaknya kurang memuaskan, itu juga mungkin ada pengaruhnya karena, mereka tidak terbiasa dengan percakapan orang Jepang. Kurangnya komunikasi secara langsung, yang mengakibatkan pemahaman mereka juga sangat kurang mungkin dapat dipahami. Tetapi sebetulnya, mereka bisa tidak selalu mengandalkan di perkuliahan saja, tetapi dengan berchatting dengan orang Jepang langsung bisa melalui internet dan lainnya, ataupun hanya dengan menonton drama-drama ataupun reality show berbahasa Jepang, saya yakin kemampuan mereka meyimak akan naik, dan tentunya seiring kemampuan menyimak semakin baik, outputnya, speaking akan lebih natural lagi seperti layaknya akuisisi jika kita berada di Jepang.
Semoga Postingan di
blog erisuko ini berguna...