Terkait dengan Kewajiban Publikasi Artikel dalam Jurnal Ilmiah sebagai syarat kelulusan yang saya pernah posting di artikel "
Publikasi dalam Jurnal Ilmiah sebagai Syarat Kelulusan, Efektif kah?". Maka sebagai bentuk lanjut dari implementasi kebijakan Dikti tersebut, maka sekarang Universitas tempat saya bernaung yaitu Universitas Negeri Semarang mewajibkan setiap Fakultas, Jurusan, sampai Tingkat Prodi untuk memiliki Jurnal sendiri.
Pelatihan Pengelolaan Jurnal di tingkat Universitas telah dilakukan pada pertengahan maret kemarin, untuk beritanya dapat dibaca
DISINI.
Open Journal System adalah suatu Content Management System yang dikembangkan oleh
Public Knowledge Project yang beralamat di
http://pkp.sfu.ca . Untuk berlatih menggunakan OJS, selain diberikan materi singkat dalam pelatihan ditambah manual handbook, peserta juga diberikan akses ke folder latihan e-jurnal dalam domain unnes.ac.id.
Pengalaman saya ketika pertama kali menggunakan OJS adalah... ribet. Karena OJS berbasis kepada teamwork dan workflow yang terus berjalan. Idealnya sebuah jurnal berbasis OJS tidak dapat hanya dikerjakan oleh 1-2 orang saja. tetapi minimal 4 orang staff dengan tugas dan tanggung jawab masing2x. Diantaranya adalah Journal Manager, Editor, Section Editor, Layout Editor, dan Reviewer.
Namun untuk keperluan publikasi dan bukan Open Journal dalam artian sebenarnya, maka OJS dapat ditangani oleh 1-2 orang saja.
Penasaran gimana penampakan aslinya ketika di launching? boleh intip dulu deh.. ^^V
Bagaimana? terlalu manis? sengaja itu, biar para Mahasiswa tidak takut dan antipati duluan sama yang namanya "kewajiban memuat artikel didalam Jurnal".
Orang yang mengatakan "
budaya menulis di Indonesia sangat Minim" adalah tidak benar. Mengapa saya katakan demikian? coba saja lihat di Internet, terutama di media sosial seperti
Twitter, Facebook, dll... Hanya di Indonesia orang bisa tulis status dan like sendiri, bahkan whisp teman2x untuk LIKE statusnya... (lebaayy...)
Nah sekarang, kemauan menulis sebenarnya sudah ada walau hanya sebatas menulis curhatan, cacimaki, bahkan sampai para fakir aamiin yang berdoa via facebook (penasaran saya, apakah Tuhan mereka punya akun facebook?). Bagaimana budaya menulis yang singkat dan salah tempat itu menjadi budaya menulis yang informatif, penuh makna dan berguna..
Regards